Saya dan dua teman berfoto dengan latar dinding di pintu gerbang masuk Kherkof. Foto diambil tahun 2011 lalu |
Nyaman dan asri. Inilah kesan pertama saat memasuki pintu
gerbang utama Kherkof Cementery atau yang lebih dikenal dengan
Kherkof Peutjoet. Nama Kerkhof sendiri berasal dari bahasa Belanda yang
memiliki arti Gereja atau Kuburan. Jalur masuk yang panjang mencapai
puluhan meter dan lebar tampak menyerupai altar gereja, namun yang ini hanya
berbahan dasar aspal. Di ke dua sisi altar rumpun-rumpun bunga
melati terlihat tertata rapi, dengan warna bunganya yang putih, juga ada
bougenvile dengan bunganya yang warna-warni.
Kerkhof Peutjoet diapit oleh gedung Museum Tsunami yang
tampak tinggi menjulang di sisi sebelah kirinya, gagah dan menarik perhatian
dengan warna cokelat yang terang. Sedangkan di ruas kanan diapit oleh sebuah
perguruan Katholik Budhi Darma. Di bagian depan, terdapat taman Thank to The
World atau yang lebih dikenal sebagai Lapangan Blang Padang.
Meski di area ini terdapat 2.200 makam namun tidak
sedikitpun ada kesan angker, sebagaimana kesan umum yang ditemui di area
pekuburan. Suasana inilah yang membuat Kerkhof Peutjoet mempunyai daya tarik
tersendiri bagi pengunjung, baik lokal maupun dari manca negara.
Pengunjung dapat dengan bebas menyusuri area makam untuk
melihat-lihat, atau mengabadikan berbagai moment di komplek makam ini, bahkan
banyak juga bagi pasangan yang akan menikah melakukan foto preweddingnya
di tempat ini. Terutama di hari-hari libur.
Setelah melewati pintu utama kita akan bertemu dengan
sebuah pintu gerbang yang kokoh dan tinggi. Dibuat pada tahun 1893 Masehi
berbahan dasar batu bata. Di atas pintu tertulis sebuah kalimat dengan kosa
kata arab, melayu dan huruf jawa. Onze kameraden gevallen op het veld
van eer begitu kalimat yang tertera di sana yang artinya untuk sahabat
kita yang gugur di medan perang.
Dinding-dindingnya yang tebal berwarna krem dengan les
cokelat, di setiap ruasnya terdapat lapisan batu marmar yang digrafir nama-nama
pejuang yang terdapat di dalam komplek makam. Lengkap dengan tahun serta lokasi
kejadian.
Nama-nama yang tertera di dinding tercatat sejak tahun
1873 M sampai pada tahun 1935 M. Dari 2.200 nama yang tercatat, 35 nya adalah
prajurit angkatan laut kerajaan dan 118 orang perwira. Sedangkan sisanya
didominasi oleh tentara Kerajaan Hindia Belanda.
Komplek makam ini masuk ke kawasan Blower, kelurahan Suka
Ramai yang terletak di Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Di sebelah timur
berbatasan langsung dengan jalan T. Umar, Stui. Bersebelahan dengan taman
Ghirah atau lebih dikenal dengan sebutan Taman Gunongan.
Di sinilah terdapat sebuah makam seorang Jenderal Belanda yang
sangat terkenal pada masa itu yaitu J.H.R Kohler (1818-1873 M). Dalam buku
panduan Kuburan Militer Peutjoet yang ditulis oleh G.A Geerts yang
menjabat sebagai wakil ketua Yayasan Peutjoet Belanda, Jenderal Kohler
digambarkan sebagai sosok lelaki Belanda yang memiliki wajah agak
persegi, matanya cokelat dan berkulit putih kemerahan, rambutnya merah seperti
rambut jagung dan kumisnya tebal.
Kohler adalah perwira komandan pada ekspedisi Aceh yang
pertama. Pada tanggal 8 April 1873 ia mendarat dengan pasukannya di pantai
utara Aceh. Setelah membentuk pangkalan jembatan di dekat sungai Aceh, ia
bermaksud untuk bergerak menuju ke Kraton tempat kediaman Sultan Aceh,
sayangnya Kohler tidak mengetahui secara pasti di mana lokasi Kraton.
Kohler dipromosikan menjadi Mayor Jenderal pada tanggal
10 April 1873, pada hari berikutnya Masjid Raya Baiturrahaman dibakar oleh Belanda yang
menimbulkan kemarahan luar biasa dari rakyat Aceh dan terjadilah peperangan
yang sangat sengit.
Kira-kira pukul 08.30 pagi bertepatan dengan tanggal 14
April 1973 Kohler datang untuk melihat-lihat situasi dengan teropongnya,
saat itulah ia ditembak oleh seorang penembak Aceh, lokasinya berada di halaman
Masjid Raya Baiturrahman, sampai sekarang masih terdapat monumen kematian
Kohler di sana.
Setelah kematiannya, jenazah Kohler kemudian diterbangkan
ke Batavia dan dikuburkan di pekuburan Tanah Abang Jakarta. Namun, karena ada
rencana pengembangan kota Jakarta pada tahun 1975, atas permintaan masyarakat
Aceh akhirnya pada tahun 1978 jasad Kohler dipindahkan ke Aceh pada tanggal 19
Mei. Setelah 105 tahun ‘menetap’ di pekuburan Tanah Abang Jakarta, sang
Jenderal pun kembali ke Aceh. Ke tanah tempat di mana ia menghembuskan nafasnya
yang terakhir kali.
Selain Kohler tentu saja banyak prajurit-prajurit lainnya
yang terkenal dan dimakamkan di sini, salah satunya adalah Letnan Kolonel J.J
Roeps yang terbunuh pada tahun 1840. Mereka-mereka yang dikuburkan di sini
termasuk para perempuan dan anak-anak yang terkena wabah penyakit seperti
malaria.
Namun, dari ribuan makam berwarna putih yang tampak
sangat terawat dan bersih tersebut,di bagian timur kompleks makam terdapat
pemandangan lain. Di bawah sebatang pohon yang rimbun terdapat tiga buah makam
dengan kondisi memprihatinkan. Rumput-rumput ilalang tampak tumbuh berantakan.
Yah, salah satu dari makam itu adalah milik Meurah Pupok, putra Sultan Iskandar
Muda, yang dihukum karena suatu kesalahan. Konon katanya, pada saat Sultan
menghukum puteranya inilah lahir ungkapan Matee aneuk meupat jirat,
gadoh adat pat tamita.
Meski terletak di area Kerkhof, namun pihak Yayasan
Peutjoet di Belanda tidak ikut mengurus makam Meurah Pupok. Karena
mereka beranggapan itu di luar kewenangan Yayasan.
Adalah Habibah (45), yang sudah belasan tahun menjaga dan
merawat Kerkhof ini mengatakan bahwa pada waktu-waktu tertentu ada petugas
khusus yang datang untuk membersihkan makam Meurah Pupok. Namun ia tidak
mengetahui secara pasti dari mana mereka berasal. “Sepengetahuan saya juga
tidak pernah ada keturunan Sultan yang berkunjung ke makam ini,” katanya,
kepada the Atjehpost pada Sabtu, 18 Februari 2012.[]
Artiken ini sudah dipublikasikan di www.atjehpost.com
dan kita masih seger2 dan langsing2 di foto han..
BalasHapushahahahahah sekarang yang langsung cuma si Nurul yaa
BalasHapus